Pembentukan Karakter Di Mulai Dari Mana ?

Sehebat apapun pendidikan karakter itu sendiri. Kalau tidak di awali suri tauladan yang baik. Semuanya akan semu, semuanya terlihat baik tetapi sesungguhnya tidak baik. 





 

Karakter atau watak merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi “tanda” khusus untuk membedakan antara satu orang dengan orang lainnya (Sumaryanto, 2012). Dalam bahasa Yunani, Charasein (karakter) berarti mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Sedangkan Barnadib (1988) mengartikan watak dalam arti psikologis dan etis, yaitu menunjukkan sifat pendirian yang teguh, baik, terpuji, dan dapat dipercaya. 

   Pembangunan karakter merupakan usaha yang sangat penting dalam mewujudkan manusia yang baik. Tujuan pembangunan karakter merupakan bagian dari tujuan pendidikan untuk membangun watak, harga diri yang kuat, jujur, terampil, sesuai dengan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebangsaan.

                Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Thomas Lickona, Sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :

(1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

(2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,

(3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan,

(4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas,

(5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,

(6) menurunnya etos kerja,

(7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,

(8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,

(9) Membudayanya ketidak jujuran,

(10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

 Apa yang diungkapkan oleh Thomas Lickona, sudah menjadi bagian hidup sekarang yang serba canggih, betapa mudahnya terjadi kejahatan, berkata-kata buruk, kekerasan dimana-mana, penyalahgunaan narkoba mulai dari anak-anak sampai orang-orang yang sukses, pejabat, pengusaha, politisi, artis, dan semua sendi kehidupan sudah terasuki kejahatan, sudah tidak ada celah yang dihinggapi oleh kejahatan. Dan kembali berawal dari keluarga.

Menurut Freud   “kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. 

Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak”

Banyaknya persoalan sosial dan penyimpangan perilaku di masyarakat kini, tak lepas dari peran pendidikan dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Terjadi kekerasan antar anak, remaja maupun orang dewasa, pencurian, begal, perampokan dan korupsi, teroris,  merupakan fakta yang nyata di kehidupan sehari-hari yang selalu kita saksikan bersama baik langsung maupun melalui media massa. Sajian kehidupan yang miris dan sangat memprihatinkan sebagai bangsa  yang berjiwa luhur.

Adalah pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan sesuai dengan sistem Pendidikan Nasional. Usaha itu sedemikian rupa pemerintah dan masyarakat, telah dilakukan dengan kerasnya. Tetapi fakta lain juga tidak kalah kerasnya kehidupan yang buruk telah melanda semua sendi kehidupan. Oleh karena itu pembinaan generasi muda dalam upaya pembangunan karakter (karacter building) harus terus digenjot dan efektif, agar tidak hanya menjadi program yang nyata tapi tidak nyata manfaatnya.

Menurut Prof. Dr. Hasnawi Haris, M.Hum (2010), salah satu fakta empiris bahwa: Sistem Pendidikan Indonesia lebih dominan dan berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).

Untuk menumbuhkan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menggunakan strategi sehingga terbentuk karakter idealis. Menurut Anifral Hendri (2008), ada beberapa strategi dalam pembentukan karakter, antara lain: keteladanan, pembiasaan, penanaman disiplin, menciptakan suasana kondusif, intregasi.

a. Keteladanan

Teladan biasa diartikan contoh, suri tauladan yang patut ditiru,manusia sesungguhnya butuh figur, sosok, contoh yang baik. Sosok yang pertama dan utama adalah kedua orang tua anak itu sendiri. Kemudian sosok atau suri tauladan berikutnya adalah guru disekolah sebagai tenaga pendidik, lebih lanjut sosok berikutnya adalah pemimpin, baik formal maupun non formal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keteladanan berasal dari kata “teladan” yang artinya sesuatu atau perbuatan yang patut ditiru atau dicontoh. (Ananda Santoso: 411)

Secara psikologis ternyata manusia memerlukan tokoh teladan dalam hidupnya, ini merupakan sifat pembawaan manusia. Teladan ini ada dua macam yaitu secara sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan secara sengaja dilakukan secara formal seperti memberikan contoh untuk melalukan sholat yang benar dan sebagainya, sedangkan keteladanan secara tidak sengaja dilakukan secara non formal seperti sifat ikhlas. Tapi keteladanan yang dilakukan secara tidak formal kadang-kadang berpengaruh lebih besar dari pada keteladanan secara formal. (Sudiyono, 2009: 288)

 

Di era terbuka dan tehnologi sangat canggih seperti sekarang, informasi dan komunikasi begitu mudah, sehingga peran sebagian orang tua, guru, sudah di ambil alih oleh teknologi, akibatnya intensitas komunikasi langsung sudah berkurang akhirnya hubungan emosional ikut juga berkurang.

Akibatnya peran orang tua, guru untuk menjadi figur, sosok yang dianggap bisa menjadi panutan tersingkirkan oleh sudah banyaknya figur-figur lain, yang belum tentu berdampak positif terhadap perkembangan jiwa anak. Seperti media televisi, internet anak-anak telah disuguhkan tontonan yang belum tentu menjadi tuntunan. Kekerasan, berbicara kasar, bercanda yang berlebihan, adegan yang belum pantas. Diperparah lagi kemampuan orang tua, guru, terhadap perkembangan dunia yang sangat pesat seakan tidak mampu mengikutinya.

Orang tua, guru tidak mampu mengimbangi kecepatan jaman tersebut. Pandangan lama dan cara berpikir di keluarga misalnya, Anak jaman dulu dianggap baik, aman kalau anak tersebut di rumah atau di kamar saja. Dengan jaman sekarang hal itu kurang tepat lagi, walaupun si anak tetap di rumah atau di kamar, tetap menjadi sasaran informasi dan komunikasi yang tidak terbatas, karena adanya media HP(Handphone), jaringan internet. Lebih parahnya sosok orang tua yang harus hadir sebagai tokoh sentral bagi anak. Tersingkirkan, dialihkan anak pada sosok yang tidak kenal utuh sesungguhnya, tapi peran media yang sangat dahsyat. Kecenderungan begitu gampang mempunyai idola bagi anak. Anak juga tidak apa yang dilihat sebagai pujaannya sesungguhnya hanya tipu muslihat entertaimant artis, media, semua pertontonkan serba gemerlap, mewah, mudah mendapatkan sesuatu, penampilan harus keren.

Dengan pola itulah pergeseran nilai kehidupan terhadap peran tokoh, sosok keteladan tergantikan oleh peran dunia entertaimant yang disuguhkan oleh film, sinetron, iklan, infotaimant, dan acara-acara yang tidak jelas maksud dan tujuannya, candaan yang menjurus kasar, obrolan yang kurang beretika. Lahirlah generasi muda yang berprilaku buruk, berkata kasar, kurang peduli terhadap disekitarnya, seenaknya, tidak menghargai sesama, orang tua, guru, dan lingkungannya.

Keadaan seperti itu diperparah lagi dengan super sibuknya orang tua karena tuntutan pekerjaan yang sangat menyita waktu dan, intensitas pertemuan antara orang tua dan anak sangat kurang,

Oleh karena itu keteladanan sangat dibutuhkan dan menjadi yang utama dalam pendidikan karakter anak.

Keteladan dimulai dari yang pertama dan utama adalah kedua orang tua dan lingkungan keluarga. Keteladanan berikutnya dari bangku sekolah, guru dan lingkungan sekolah hendaknya menjadi menjadi model yang tepat untuk perkembangan jiwa anak. Selanjutnya keteladan dari tokoh-tokoh publik, tokoh masyarakat, tokoh politik hendaknya memberikan model yang baik dalam rangka hubungan sosial masyarakat????betulkah bisa menjadi suri tauladan???

b. Pembiasaan

Pembiasaan dimulai dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari keluarga. Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalaui proses pembelajaran yang berulang-ulang.

Sikap dan perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Perilaku relatif menetap.

2. Pembiasaan umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir mengingat atau meniru saja.

3. Kebiasaan bukan sebagai hasil proses kematangan tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman belajar.

4. Perilaku tersebut tampil berulang-ulang sebagai respon terhadap stimulus yang sama.

Dari ciri-ciri tersebut, hal utama adalah konsistensi dari sikap dan perilaku manusia yang ada dalam lingkungan keluarga. Terutama orang tua anak sendiri. Bagaimana menanamkan pendidikan yang baik, berakhlak mulia. Di mulai dari keteladan, dilanjutkan kebiasaan-kebiasaan baik, dan selalu dilakukan, diulangi, terus menerus, walau pun sikap, perilaku yang sifatnya kecil. Misalnya membiasakan mengetuk pintu, dan mengucapkan salam sebelum masuk di rumah atau di kamar orang tuanya. Ini adalah hal sepele tetapi besar manfaatnya untuk kematangan dan perkembagan jiwa kelak, anak terbiasa menghargai orang lain, baik berupa pendapat maupun tindakan. Dari sikap perilaku tersebut yang penting adalah bagaimana anak terbiasa dengan kebiasaan baik tersebut. Bukan menjadi tujuan pendidikan itu sendiri, tetapi merupakan proses kematangan dari pengalaman yang dilakukan secara terus menerus. Maka terbiasa lah  anak melakukan , dan jika tidak dilakukan akan menjadi sesuatu yang kurang dalam dirinya.


c. Penanaman Disiplin

Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.

 Disiplin diri merujuk pada pelatihan yang didapatkan seseorang untuk memenuhi tugas tertentu atau untuk mengadopsi pola perilaku tertentu, walaupun orang tersebut lebih senang melakukan hal yang lain. Sebagai contoh, seseorang mungkin saja tidak melakukan sesuatu yang menurutnya memuaskan dan menyenangkan dengan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang ia inginkan dan menyumbangkan uang tersebut kepada organisasi amal dengan pikiran bahwa hal tersebut lebih penting. Secara etimologi disiplin berasal dari bahasa Latin “disibel” yang berarti Pengikut. Seiring dengan perkembangan zaman, kata tersebut mengalami perubahan menjadi “disipline” yang artinya kepatuhan atau yang menyangkut tata tertib. Disiplin memerlukan integritas emosi dalam mewujudkan keadaan. disiplin diri dapat bermula pada suatu hal yang kecil, contoh : bagi pelajar yang mampu membagi waktu belajar.

Penanaman kedisiplinan harus dimulai dari keluarga, serta dimulai dari hal-hal kecil, seperti, menempatkan barang atau benda pada tempatnya. Contoh sepatu, sandal hendaknya selalu disimpan di rak yang atau tempat tersedia. Pokoknya banyak hal-hal kecil untuk menanamkan kedisiplinan diri pada anak, sejak dini sudah ditumbuhkan untuk melatih dan terbiasa untuk berdisiplin. Pengaturan waktu belajar di rumah haruslah tepat, mengingat anak-anak dan remaja cenderung untuk bermain, apalagi sekarang ini “game”yang gampang didapatkan melalui HP (handphone) atau internet. Belum lagi akibat keseringan main “game”, bisa mengakibatkan kecanduan. Pada akhirnya lupa waktu untuk belajar, dan lupa bermain untuk aktif bergerak untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak. Peran orang tua sangat diperlukan disini mengatur jadwal sedemikian rupa sehingga, anak tidak merasa terkekang, tetapi tetap belajar,dan beraktivitas fisik lainnya.

d. Menciptakan suasana kondusif

Suasana kondusif seperti rasa aman, nyaman adalah kebutuhan manusia. Apalagi anak dalam usia pertumbuhan dan perkembangan. Terciptanya suasana rasa aman, nyaman untuk beraktifitas di rumah merupakan kunci utama bagi anak untuk tumbuh dan berkembang optimal.

Konsep Islam dalam membangun rumah tangga “Rumahku adalah Istana”. Adalah konsep yang sempurna untuk menuju suasana  kondusif. Rumah adalah bagaikan istana megah yang di bangun dan dirancang sedemikian rupa, mulai dari pondasi sampai warna rumah tersebut betul mencerminkan istana bagi penghuninya. Kemudian dengan konsep itu pula dalam istana itu atau rumah sebagai tempat kediaman untuk saling berbagi suka duka, berbagi tugas dan tanggung jawab antara bapak dan ibu, serta anak.

Orang tua sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak merupakan orang terdekat bagi anak. Oleh karena itu membiasakan kejujuran dan keterbukaan antara anak dan orang tua, tentu menciptakan zona nyaman bagi anak dan orang tuanya. Anak merasa diterima dan di hargai, orang tua merasa di hormati oleh anak-anaknya.

Konsep “Istana” bukan berarti serbah mewah, serba mahal, harus besar rumahnya. Tetapi istana itu adalah kelegaan hati dan perasaan penghuni di dalam rumah tersebut. Hati dan perasaan yang aman dan nyaman anak-anak hendaknya dimulai dengan “kasih dan sayang”. Baik berupa perintah, aturan maupun hukuman haruslah berlandaskan “kasih dan sayang”.

Tanpa kasih dan sayang dalam bangunan istana sekalipun, semuanya akan terasa hampa, gersang. Timbullah ketidakharmonisan antara ayah-ibu, orang tua dan anak. Lahirlah jiwa-jiwa kurang kasih sayang, dan akhirnya anak tersebut mencari kasih sayang di luar rumah. terjadilah pergaulan bebas.

 

e. Integrasi

Dalam kamus Bahasa Indonesia http://kbbi.web.id/ Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Dalam pembentukan karakter merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah antara satu sama lain. Karena pembentukan karakter merupakan tahapan dalam pendidikan yang tidak bisa dipilah-pilah, atau dipisah-pisah, akan tetapi saling berhubungan satu sama lain.

Dari keteladanan merupakan awal dari pembentukan karakter, karena manusia membutuhkan model, contoh yang baik untuk diikuti, dan semuanya berawal dari keluarga.

Keteladanan yang diberikan orang tua, dilakukan terus menerus, atau kata lain pembiasaan sepanjang hari, sepanjang malam secara terus menerus agar anak sudah terbiasa bukan menjadi kewajiban semata maka sudah menjadi kebutuhan anak dalam kehidupannya kelak.

Pembiasaan yang sudah terjadi terus menerus maka secara otomatis kedisiplinan itu tumbuh dalam pola perilaku anak, hidup yang teratur. Serta di dukung suasana aman dan nyaman (kondusif), maka pembinaan karakter anak itu akan jauh lebih baik.

Semua yang ditanamkan, dilakukan, oleh orang tua, semuanya butuh proses yang panjang, butuh ketabahan, keuletan, kesabaran, serta kasih sayang. Hal ini bisa tercipta, karena merupakan satu kesatuan tidak  terpisah-pisah. Antara satu dengan lainnya. Butuh waktu dan proses yang panjang.

Semoga tulisan ini bermanfaat kepada kita sekalian.

Amiiin…!!!

 

 

 

 

 

 

 Referensi:

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/15/06/12/npsy4i-mendidik-dengan-keteladanan

http://rithasmiati.blogspot.co.id/2015/09/keteladanan-orang-tua-dan.html

http://limasdbungah.blogspot.co.id/2012/02/pembiasaan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Disiplinhtml

Komentar