PERUMUSAN TUJUAN PEMBELAJARAN DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PJOK) BAG.2
Selain unsur perilaku,
KONDISI merupakan unsur kunci dalam pendidikan jasmani dan harus dirumuskan secara spesifik. Mengapa unsur kondisi ini penting? Tidak seperti mata pelajaran lain,dalam Pendidikan jasmani, menurut Rink (2009) unsur kondisi menggambarkan situasi dimana tindakan tersebut dilakukan. Misalnya, seorang peserta didik yang mampu mendribel bola basket sambil berlari-lari kecil melintasi garis lurus, belum tentu bisa melakukannya dalam permainan
basket sesungguhnya ketika dia harus melakukan dribel dengan arah dan kecepatan yang berubah-ubah. Contoh yang lain, peserta didik yang dapat memukul bola baseball dari umpan toss, belum tentu bisa memukul sama baiknya ketika bola yang datang berasal dari pitcher. Peserta didik yang akurat dalam melakukan tembakan ke gawang mungkin akan mengalami kesulitan yang berarti ketika harus melakukannya di depan beberapa pemain bertahan dan penjaga gawang. Oleh sebab itulah, menuliskan kondisi secara spesifik sangat penting dalam pendidikan jasmani.
Rink (2009) berpendapat bahwa unsur KONDISI ini juga dapat menegaskan ranah apa yang akan dicapai dalam tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, perumusan tujuan pembelajaran dapat berfungsi untuk memperjelas ranah yang sudah diindikasikan dalam unsur PERILAKU dengan kata kerja tindakan, baik itu kognitif ataupun afektif. Coba simak tujuan pembelajaran berikut ini: “Peserta didik mampu menghormati wasit…” Tujuan pembelajaran ini walaupun sudah mengindikasikan ranah afektif dari kata kerja “menghormati”, namun masih belum secara tegas merujuk pada ranah afektif. Anda sebagai guru dapat melakukan penajaman dengan cara merumuskan KONDISI dari tujuan pembelajaran ini. Coba bandingkan dengan rumusan ini: “Peserta didik mampu menghormati wasit ketika mendapatkan keputusan yang kurang menguntungkan timnya.”
Sama seperti ranah afektif, untuk tujuan pembelajaran yang mengacu ada ranah kognitif kita bisa mencantumkan kata kerja kognitif. Misalnya,
“Peserta didik mampu menyebutkan tahapan-tahapan dalam lompat jauh
gaya gantung.” Rumusan tujuan pembelajaran tersebut sudah mengindikasikan ranah kognitif dengan membubuhkan kata kerja “menyebutkan.” Namun demikian, dengan menambahkan unsur KONDISI dalam tujuan tersebut maka akan semakin tegas aspek kognitifnya karena situasi dimana pengetahuan peserta didik ditunjukkan secara eksplisit. Coba simak tambahan unsur kondisi dalam tujuan pembelajaran ini: “Peserta didik dapat menyebutkan tahapan-tahapan dalam lompat jauh ketika diminta oleh guru.” Rink (2009) memberi contoh unsur KONDISI dalam tujuan pembelajaran penjas: dalam tes tertulis/lisan, dengan menerapkan apa yang diketahui dalam melakukan tugas gerak, melalui presentasi singkat, di depan kelas, menggunakan PowerPoint.
Jika unsur PERILAKU menggambarkan tindakan yang akan dilakukan peserta didik dan unsur KONDISI menggambarkan situasi dimana perilaku tersebut ditunjukkan, maka unsur KRITERIA menggambarkan tingkat penampilan minimal yang harus dilakukan peserta didik di saat melakukan tugas gerak. Menurut Rink (2009), kriteria bersifat evaluatif, artinya kriteria tersebut memberikan informasi kapan peserta didik yang melakukan tugas gerak tersebut dikatakan telah berhasil. Lebih lanjut Rink menyatakan bahwa unsur kriteria bisa dibagi menjadi dua, (1) sebagai kriteria kuantitatif atau bisa disebut sebagai produk, yang biasanya berkaitan dengan keefektifan dalam melakukan tugas gerak atau perilaku yang lain, seperti berapa kali, berapa jaraknya, seberapa jauh, tinggi, berapa yang benar; atau (2) yang kriteria kualitatif atau biasa disebut sebagai proses, yang biasanya berkaitan dengan karakteristik proses dari gerak, sperti bentuk gerakan, tingkat pemahaman akan suatu pengetahuan, atau sejauh mana perilaku afektif ditunjukkan.
Dalam paragraf selanjutnya, kami akan menyajikan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran dengan mengacu pada 3 ranah: psikomotor, afektif, dan kognitif. Hampir semua guru paham benar bahwa tujuan pendidikan harus mencakup pengembangan manusia seutuhnya. Apa yang disebut seutuhnya ini biasanya mencakup setidaknya 3 ranah pembelajaran tersebut.
Guru pendidikan jasmani demikian juga, sangat paham akan hal ini. Namun, ketika menuliskan tujuan pembelajaran atau bahkan merumuskan rencana pembelajaran, banyak diantara kita yang terlalu fokus pada ranah psikomotor dan mengabaikan dua ranah lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian dari kita beranggapan bahwa ranah kognitif dan afektif dalam penjas akan muncul secara otomatis katika peserta didik melakukan tugas gerak. Memang, kebanyakan peserta didik mengetahui peraturan permainan olahraga, menganalisis konsep gerak, atau bergaul secara sehat dalam kelas pendidikan jasmani yang merupakan indikasi dari proses dan hasil pembelajaran kognisi dan afeksi. Namun sesungguhnya, prosesnya bisa jadi bukan proses yang efektif dan hasilnya sulit diperkirakan.
Oleh sebab itu, mengapa kita tidak secara khusus menuliskannya jika memang terjadi dalam pembelajaran. Hasil pembelajaran dalam kerangka ranah afektif dan kognitif dapat dirumuskan sama seperti dalam ranah psikomotor dalam pendidikan jasmani. Menurut taxonomi Bloom, kedua ranah ini dapat dianalisis secara hirarkis dimana guru dapat memanfaatkannya untuk perumusan tujuan pembelajaran berkaitan dengan pengembangan materi (Rink, 2009). Ranah kognitif memfokuskan pada keterampilan yang didukung oleh aspek-aspek kognitif yang mensyaratkan progres dari mudah ke sulit. Demikian juga dengan ranah afektif, hirarki ranah ini bergerak dari titik dimana peserta didik menjadi sadar akan perilaku mereka kearah titik dimana nilai-nilai yang mereka yakini memiliki pengaruh langsung terhadap apa yang akan mereka lakukan.
Bagi guru yang akan menulis tujuan pembelajaran, memahami hirarki ini sangat penting karena penyajian materi kepada peserta didik disusun berdasar prinsip pengembangan: dari sederhana ke rumit, dari mudah ke sukar, dari sedikit ke banyak. Guru pendidikan jasmani relatif sudah tidak asing lagi dengan bagaimana mengembangkan materi dalam cakupan ranah psikomotor. Kita tidak akan meminta peserta didik melakukan smash bola voli dengan tinggi net sesungguhnya sebelum mereka melakukannya dengan cara-cara yang sederhana. Kita tidak akan mengajarkan lari gawang dengan gawang standar sebelum peserta didik
melakukannya dengan melompati kardus mie instan. Hal yang sama juga dalam ranah afektif dan kognitif. Guru tidak akan bisa mengharapkan peserta didik mengapresiasi bantuan teman satu tim, sebelum mereka dapat menyesuaikan dengan kelompoknya (AFEKTIF). Kita tidak bisa meminta peserta didik menganalisis gerakan lay-up yang benar sebelum mengidentifikasi tanda-tanda (cues) gerakan lay-up (KOGNITIF).
Rangkuman
Merumuskan tujuan pembelajaran memiliki fungsi:
1. Konsistensi menulis tujuan pembelajaran yang baik sangat penting baik bagi guru senior maupun pemula, karena hal baru tidak bisa dirumuskan secara secukupnya saja.
2. Membantu guru dalam menentukan seberapa spesifik materi belajar hari itu akan dipelajari peserta didik.
3. Menyesuaikan materi belajar dengan tahapan tumbuh kembang anak. Di sinilah titik pentingnya,
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pembelajaran:
a. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam kerangka “apa yang Anda harapkan dari peserta didik setelah mengikuti pembelajaran”, bukan apa yang dilakukan oleh guru/peserta didik selama pelajaran.
b. Tujuan pembelajaran dapat dirumuskan secara luas (misalnya, peserta didik akan beajar tentang bagaimana melakukan tembakan ke arah basket) atau secara khusus (misalnya, peserta didik dapat memasukkan 8 kali dari 10 kali kesempatan menembakkan bola ke basket).
c. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam rangka mencapai
Disarikan :
MODUL
Guru Pembelajar Mapel PJOK SMA/SMK
Diertjen Guru dan Tenaga Kependidikan Diknas 2016
Barru , November 2018
Komentar
Posting Komentar