KASIH DI SEPUCUK STICKYNOTE
Oleh : Mardhatillah Umar
Detak jam dinding terus berbunyi hingga saat ini. Dillah masih termenung kaku mengingat hal yang baru saja ia lakukan. Gadis itu masih di sana, duduk di kursi ruang tengah yang hampir rapuh termakan rayap. Dengan masih membawa lembaran-lembaran kertas yang telah terkumpul menjadi satu ditemani dengan bolpoin pink kesukaannya. Sesekali ia menengok ke arah jam dinding itu. Satu jam sudah ia menghabiskan waktunya untuk menyesali perbuatannya. Tidak! Bukan menyesali, tetapi lebih tepatnya malu. Ia merasa kejadian itu hanyalah mimpi.
“Aku tidak menyesali ini. Ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang. Ya, melalui surat yang kutulis di sticky note . Apa yang akan terjadi selanjutnya aku siap menerima. Aku bersedia menanggung perbuatanku ini.” Ujarnya lalu bangkit meninggalkan ruangan tempat ia bersama keluarganya berkumpul.
Dillah baru saja mengirimkan secarik sticky note berbentuk love yang berisikan tentang perasaannya kepada seorang lelaki. Gilang, itulah nama lelaki yang telah menarik hati Dillah. Lelaki itu berkacamata, Ia tampan, memiliki tubuh yang tinggi, wajahnya hitam manis, dan matanya yang bulat hitam menunjukkan adanya darah keturunan Arab mengalir dalam dirinya. Sontak membuat gadis di sekelilingnya terpesona ketika memandang sosok lelaki itu.
Dua bulan telah berlalu. Gadis itu menunggu dalam ketidakpastian. Memang, dua bulan ini Gilang menghilang seakan ditelan bumi. Tanpa kabar, tak meninggalkan bekas pun. Bagaikan bunga yang mati tak meninggalkan aroma harum di sekitar. Rasa putus asa telah hinggap dalam jiwa Gilang. Namun hatinya memberontak untuk kalah dan tetap bertekad menanti jawaban dari lelaki yang telah membuat hatinya berdesir itu. Ia lalu beranjak pergi ke puncak gunung lajulo dan berteriak kencang berharap fikirannya kembali tenang.
“Apa yang kau lakukan Dillah? Kau terlalu berharap! Bahkan dia sama sekali tak mengenalimu. Gilang sangat cerdas di kelas. Mana mungkin dia mengenal cinta. Temannya hanyalah setumpuk buku. Mana mungkin dia mampu menyukai seseorang? Apalagi hanya seorang dirimu Dillah. Kau seharusnya berfikir ini dari dulu.” Dillah bergumam, bergidik dalam kebisuan. Keputus asaan semakin menghantamnya begitu keras. Namun hatinya tetap bersikukuh mempertahankan cintanya yang kini berada di tepian jurang yang begitu curam rupanya.
“Sedang apa kau di sini Dillah?” Suara lelaki itu tiba-tiba membuat Dillah terkejut. Membuat gadis manis yang memiliki lesung pipi itu pun menoleh ke arahnya.
“Aku Rafli. Maaf sebelumnya aku telah membuatmu terkejut. Kau melamun sendiri di sini. Makanya aku datang kemari. Kau menyukai tempat ini kan?” Tutur lelaki tersebut. Lelaki itu kini duduk di samping Dillah. Pandangan matanya tertuju ke arah danau dimana airnya sangat tentram dalam menjalani hidup. Dillah bertanya-tanya dalam hati. Siapa orang asing ini? Bagaimana ia bisa mengenalinya?
“Kau mengenaliku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Siapa sebenarnya kau ini?”. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya. Dan ditunjukkanlah sesuatu itu pada Dillah.
“Kau pasti tahu ini.”
“Bagaimana bisa surat ini bersamamu? Dan… apakah kau kenal dengan Gilang?”
“Ya, tentu saja. Gilang sahabatku sejak kecil. Aku sangat terkejut ketika kau mengirim surat ini padanya. Gadis lugu sepertimu ternyata bisa menyatakan perasaan pada seseorang yang bahkan mungkin dia tak mengenalimu.”
Dillah memalingkan wajahnya. Terlihat rona pipinya memerah menandakan bahwa rasa malu telah menghinggapi dirinya. Sehingga ia tak mampu membendung senyuman di bibirnya. Manis, sangatlah manis.
“Lalu, apakah Gilang telah membaca surat ini?”
“Belum. Aku masih membawanya selama ini.”
“Apa? Jadi dalam dua bulan ini dia belum mengerti perasaanku? Kenapa surat ini bisa kau bawa? Ah, sebaiknya kembalikan surat itu padaku. Lebih baik jika selamanya ia tak usah mengerti perasaanku.” Dillah hendak merebut surat miliknya itu. Tetapi tertahan oleh tangan lelaki itu.
“Tunggu, aku belum selesai. Aku akan menceritakannya padamu. Sebenarnya, sudah dua bulan ini dia berada di Singapore. Ayahnya dipindah tugaskan di sana. Jadi sekarang dia bertempat tinggal dan melanjutkan sekolahnya di sana. Awalnya sih dia tidak mau dan ingin tinggal bersamaku, melanjutkan sekolahnya di sini dan juga mengejar cintanya. Tapi sepertinya gadis yang dicintai Gilang tidak begitu tertarik dengannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menyerah dan ikut keluarganya ke Singapore.”
Penuturan Rafli bagaikan gemuruh di telinga gadis itu. Hatinya teriris mengetahui bahwa lelaki yang ia cintai telah mencintai gadis lain. Terlihat ia menahan air yang akan keluar dari kedua matanya. Matanya terlihat berkaca-kaca. Seketika pupus sudah harapan Dillah pada cinta pertamanya itu. Ia tak berharap lagi.
“Dia menyukai seseorang? Lalu kenapa gadis itu menolaknya? Sepertinya sangat tidak mungkin.”
“Tidak. Gadis itu tidak menolaknya. Namun Gilang terlalu terburu-buru pergi. Gilang tidak tahu jika gadis yang dicintainya juga mencintainya. Hm.. Dillah, Sudah tidak ada yang mengirimimu surat misterius lagi kan?”.
Dillah mengerutkan kening. Dari mana lelaki ini tahu kalau banyak surat kaleng telah ia terima. Apakah surat itu dari lelaki itu?.
“Dari mana kau tahu aku menerima banyak surat kaleng? Sebenarnya itu dari siapa?”
“Gilang. Semua itu dari Gilang. Kaulah yang dicintai Gilang selama ini, tapi kau tak
pernah membalas suratnya sama sekali. Oh ya, terakhir aku menemukan suratmu di kotak surat rumahnya. Setelah aku lihat ternyata itu darimu. Aku benar-benar tak percaya. Gilang seharusnya mengetahui ini. Namun sayang sekali, dia telah pergi sehari sebelumnya.”
“A.. Apa? Rafli, kau jangan bercanda. Dia bahkan tak mengenaliku sama sekali.”
“Dia tahu dirimu Dillah. Dia mengikuti setiap langkahmu. Ke manapun kau pergi dia ikuti. Bahkan aku pun juga ikut membantunya.”
Gadis itu lalu tertunduk. Dalam hatinya tersimpan keharuan mendengar pengakuan Rafli. Betapa pedihnya perasaannya saat ini bagai ditusuk-tusukkan besi yang terbakar oleh bara api. Panas. Air matanya terkucur deras mengalir di pipinya yang lembut. Menyadari bahwa selama ini lelaki yang dicintainya juga mencintainya.
“Jangan sedih Dillah. Ini bulan Desember ya? Fokuslah pada ujian akhirmu. Jangan terlalu difikirkan. Kembalilah ke sini liburan nanti. Mungkin akan ada cerita baru untukmu.”
Lelaki itu pergi. Berjalan melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah meninggalkan Dillah yang tengah mengalir dalam suasana haru, sendiri, sunyi di sana. Kini ia tengah berusaha membuat tubuhnya tegak kembali. Hari mulai gelap, Dillah masih tak mampu membendung tangisnya. Ia terisak sepanjang jalan menuju ke rumahnya.
Pagi yang cerah ini mengawali hari baru minggu kedua bulan Oktober. Burung-burung berkicau dengan merdunya menyambut Dillah yang kini tengah membersihkan teras rumahnya yang dipenuhi dedaunan tak bersalah yang jatuh karena hembusan angin yang terlalu kencang kemarin malam. Tak sengaja gadis itu menemukan sebuah amplop berisikan surat di dalamnya.
“Mungkin terjatuh dari kotak surat rumahku. Tapi tak ada nama pengirimnya. Aneh sekali.” Gadis itu bergumam. Kemudian meninggalkan teras rumahnya yang sekarang telah bersih dari gugurnya dedaunan itu.
Ditemani sepeda yang telah termakan waktu itu, Dillah pergi ke sekolahnya. Tiba-tiba ia teringat dengan surat yang ditemukannya itu. Di dalam kelasnya ia membuka surat itu dan dibacanya perlahan. Gadis itu bergidik. Seakan-akan surat itu ingin memakan dirinya. Ia bertanya-tanya siapa yang mengirim surat ini? Mungkinkah ada yang mengagumi Dillah dalam diam?.
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Dillah setengah berlari menuju area parkir sepeda. Tak berhati-hati di tengah jalan ia bertabrakan dengan seorang lelaki. Buku-bukunya berserakan di lantai. Lelaki itu pun membantunya.
“Maaf aku terburu-buru. Terima kasih telah membantu.”
“Ya, tak apa. Lain kali lebih berhati-hati.” Lelaki itu memberikan buku Dillah yang tadi
“Ya, tak apa. Lain kali lebih berhati-hati.” Lelaki itu memberikan buku Dillah yang tadi
terjatuh. Tak sengaja Dillah melihat lelaki itu. Matanya berhenti memandang lelaki itu cukup lama. Entah kenapa ada yang aneh. Ia merasakan hatinya berdesir dan jantungnya berdegup begitu cepat. Segera ia singkirkan pandangannya dan berlalu pergi.
“Permisi.” Ucap gadis itu lalu pergi.
Ketika senja telah melabuhkan warna jingganya. Fikiran gadis itu masih tak lepas dari lelaki yang ditabraknhya tadi. Apakah ia menyukainya? Ah, perasaan ini begitu membingungkan. Siapa nama lelaki itu? Ia adalah lelaki pertama yang berhasil melelehkan hati Dillah yang tak pernah tertarik dengan lelaki manapun selama hidupnya. Ya, Dillah memang gadis yang lugu. Ia begitu tabu dengan hal-hal yang berhubungan dengan cinta. Dan surat itu, dari siapa? Sangat mengganggu hidup Dillah.
Keesokan harinya, lagi-lagi gadis itu menemukan surat misterius itu kembali. Surat itu berisikan sebuah puisi. Menarik sekali. Namun gadis itu tak begitu peduli dengan kedatangan surat ini. Sama sekali tak tertarik. Begitu seterusnya hingga akhir bulan Oktober. Setiap hari pengagum rahasianya itu mengirimkan surat untuk dirinya. Surat itu tetap meminta Dillah untuk membalasnya. Gadis itu tetap keras kepala tak ingin berurusan dengan surat itu.
Hari ini matahari memancarkan sinarnya begitu terik. Membuat dahaga terasa mencekat di tenggorokan Dillah. Namun ada kegembiraan tersendiri dalam hati Dillah. Dillah telah mengetahui nama lelaki itu. Gilang Fahardhi Mukhti. Ya, namanya adalah Gilang Fahardhi Mukhti atau biasa disebut Gilang. Lelaki itu cukup popular di SMA Dillah karena selain ia anggota OSIS, Gilang termasuk siswa yang sangat cerdas, berbakat, dan multitalenta di sekolahnya.
Saat itu juga Dillah ingin mengutarakan perasaanya kepada lelaki itu. Tapi gadis itu tak mampu melakukannya. Ia tak memiliki banyak keberanian untuk itu. Tetapi hati Dillah masih bersikeras untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Kemudian, gadis itu menuju kamarnya mengambil selembar kertas lalu ia mulai menulis surat untuk Gilang. Jari-jarinya yang lentik itu kini telah berhenti menuliskan perasaannya. Jantungnya berdegup kencang dengan apa yang telah ia lakukan baru saja.
Surat kaleng itu… Ah, kenapa datang lagi? Gadis itu masih membolak-balikkan secarik kertas putih itu tanpa rasa tertarik untuk membalasnya. Namun surat itu tak lagi berisikan sebuah puisi manis untuk Dillah. Tetap saja ia tak mau peduli dengan kedatangan surat yang menyebalkan itu.
Dillah….
Maafkan aku telah mengganggumu Dengan surat-surat yang aku kirim akhir-akhir ini Jujur saja aku tak lagi bisa membendung perasaanku Perasaan yang tulus padamu. Meskipun kau tak pernah membalas surat dariku Bahkan mungkin kau tak sedikitpun tertarik padaku Aku sadar… Sekarang waktunya aku untuk pergi Kau tak perlu khawatir lagi, aku tak akan mengganggumu dengan surat ini lagi Jika mungkin kau berubah fikiran dan ingin mengetahui siapa aku Sore ini juga pergilah ke danau. Aku tunggu kau di sana. Salam dariku untukmu yang terakhir kalinya.
Gadis itu menitikkan air matanya ketika membaca lagi surat terakhir yang dikirim oleh Gilang. Tergambar penyesalan dalam dirinya. Andai saja ia telah tahu bahwa pengirimnya Gilang, Dillah tak akan mengacuhkannya. Gadis itu mengambil batu di sampingnya dan melemparnya ke danau. Hari pertama liburan, Akankah ada cerita baru untuknya? Ia menunggu dalam diam. Berharap perkataan Rafli saat itu bukan hanya sebuah omong kosong. Ia menundukkan kepalanya dan dibenamkannya pada kedua lututnya.
“Tak perlu menyesali semua ini. Semuanya telah berlalu. Tugas kita sekarang adalah memperbaiki keadaan dan pandang masa depan. Masa depan lebih indah dibandingkan masa lalu.”
Suara lelaki itu mengagetkan Dillah. Seketika juga ia menoleh. Terlebih ia sangat terkejut dengan sosok pria yang kini tengah berada di sampingnya. Gilang. Ya, Gilang kini berada di sampingnya.
“K.. kau? Kau di sini? Bagaimana bisa? Sejak kapan kau kemari?”
“Liburan ini aku sekeluarga pulang ke Indonesia. Memang ini Negara kami kan?.
Dan aku sangat suka tempat ini dari dulu. Tempat ini selalu memberikan rasa nyaman ketika aku dilanda masalah. Dan aku bisa tenteram di sini. Kau juga menyukai tempat ini kan?.
“Tapi kita kok gak pernah bertemu ya?”
“Aku memang suka tempat ini. Sama sepertimu, tempat ini membuatku nyaman. Tapi
darimana kau tahu aku menyukai tempat ini?”
“Aku sering melihatmu di sini. Sendiri.”
“Aku tak pernah melihatmu di sini. Kau memata-mataiku ya?”
“Haha. Aku bukan seorang intel Dillah. Aku hanya melihatmu dari kejauhan.
Dan aku tak berani datang kemari. Lalu dengan surat terakhirku, kenapa kau tak mau menemuiku? Lama aku menunggumu di sini hingga senja tiba. Akhirnya aku menyerah. Aku pulang dan esoknya aku berangkat ke Singapore.” Lelaki itu menundukkan wajahnya seakan ingin menangis. Mengingat betapa pedih penantiannya pada gadis yang dicintainya. Dillah tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu begitu mengerikan. Seresa mencekat di tenggorokannya. Akhirnya gadis itu mau membuka bibirnya untuk bicara.
“Maafkan aku Gilang… Aku tak begitu menyukai surat misterius itu. Memang awalnya itu sangat mengganggu hari-hariku. Tapi setelah tau itu darimu. Aku… sangat menyesal. Tapi bagaimana kau mengenaliku? Dan kenapa kau menyukaiku?”
“Aku tertarik denganmu karena kau sering kemari. Akhirnya aku mencari tahu tentangmu sedetail-setailnya. Hm.. Lalu apakah mencintai seseorang harus ada alasan?” Hening kali ini. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir mereka. Mereka tak saling memandang. Fikiran mereka entah sedang di mana. Perasaan getir merasuk dalam relung jiwa mereka.
“Sudahlah kita lupakan saja masalah ini. Saatnya untuk memulai kehidupan yang baru.” Lelaki itu tersenyum manis kepada Dillah.
“Maksudnya? Kau tak marah padaku? Kita masih berteman kan?” Selidik Dillah. “Kenapa aku marah dengan kekasihku sendiri? Kita sepasang kekasih kan?
“Kau sudah menerimaku secara tidak langsung. Aku ingin menjalani hari-hariku dengan kekasihku yang cantik ini.”
Senja itu menjadi saksi kisah cinta mereka berdua. Meski rumit namun teka-teki itu bisa terpecahkan. Ya, surat itu. Sepucuk kertas putih stickynote yang sangat dibenci oleh Dillah. Ah, ternyata kebencian itu hanya sementara. Sedangkan selanjutnya, kenyataan berbanding terbalik dengan angan-angan.
Komentar
Posting Komentar